Sirah Community Indonesia

Madrasah Sirah Nabawiyah

  • Madrasah
  • Kajian
  • Video

Membaca Akar Persoalan Peradaban

February 20, 2019 Leave a Comment by Admin

Sabtu – 9 Februari 2019, Madrasah Sirah Community Indonesia (SCI) kembali mengadakan Studium Generale yang ke-5 terhitung sejak tahun 2015.

Ratusan peserta dari berbagai latar belakang dan usia ini memadati Aula INSISTS, Jakarta Selatan.

Pendiri Madrasah SCI, Ustadz Asep Sobari, membuka materi dengan menjelaskan pentingnya memandang periode Sirah Nabawiyah dan Khilafah Rasyidah dan menghubungkannya dengan akar masalah peradaban saat ini.

Beliau menyayangkan interest umat muslim yang belum banyak memfokuskan hubungan sejarah dengan masalah peradaban saat ini. Sehingga membaca sejarah hanya sekadar data, padahal banyak yang bisa dipikirkan, renungkan dan menginspirasi untuk membangun masa depan.

“Sejarah itu tidak ada yang terputus satu fase dengan lainnya. Karena sejarah itu mata rantai yang saling terkait satu sama lain sehingga membentuk siklus, dan kita yang akan menjadi sejarah bagi masa depan termasuk dalam siklus itu. Semakin kuat kita memahami sejarah, maka akan semakin tajam pandangan kita terhadap persoalan hidup kekinian,” ujar lulusan Universitas Islam Madinah ini.

Apa yg terjadi pada Rasul saw dan sahabatnya bisa ditarik ke banyak hal untuk dijadikan alat/ perangkat untuk memandang persoalan-persoalan di masa kita.

Karena Sirah Nabawiyah dan Khilafah Rasyidah bukan sekadar kisah, namun ada kerangka yang bisa dipraktekkan dalam membangun peradaban Islam.

Pengurus MIUMI ini melanjutkan penjelasannya, “apa yg dimiliki Rasul saw sebagai modal peradaban? Ketika membangun peradaban Islam, Rasul saw tidak memiliki kekuatan politik, ekonomi, dll. Karena modal lahirnya peradaban ada pada masyarakatnya, artinya setiap masyarakat punya harapan untuk membangkitkan peradabannya.”

Mengutip teori Malek Bennabi, pengajar Madrasah Sirah ini mengutarakan, ada tiga unsur elementer yg menjadi modal kelahiran suatu peradaban, yakni manusia, materi dan waktu.

Namun tiga unsur ini harus bersenyawa dengan akhlaq sebagai manifestasi risalah. Bila tidak, maka ketiganya hanya onggokan material yg tidak akan melahirkan peradaban.

Dulu Rasul saw membangun peradaban tidak ada masalah tanpa anggaran negara. Karena ketiga elemen modal peradaban itu sudah menyatu. Saat menjelang perang Tabuk Rasul saw hanya perlu mengumumkan infaq di depan para sahabat.

Para sahabat pun merespon luar biasa, karena manifestasi risalah telah terbentuk dan akhlak pengusaha telah terbangun.

Usman bin Affan termasuk pengusaha yang merespon positif, ia sumbangkan hartanya di jalan Allah dari 300 unta dan terus bertambah. Inilah hasil dari gerakan Rasul saw membangun peradaban.

Sehingga hal yang sangat ditekankan oleh peneliti INSISTS ini, bahwa ketika ketiga elementer, yakni manusia, materi, waktu, disertai akhlak ini berpadu dalam proses membangun peradaban, maka akan melahirkan karya luar biasa. [Zaili Fitria]

Filed Under: Acara, Kajian, Madrasah Tagged With: khilafah rasyidah, madrasah sci, madrasah sirah, sirah nabawiyahFiled Under: Acara, Kajian, Madrasah by Admin

PENDAFTARAN MADRASAH KHILAFAH RASYIDAH 2019

January 4, 2019 Leave a Comment by Admin

Sesi Abu Bakar dan Umar bin Khaththab

Ketika Rasul saw wafat, terjadi ketidakstabilan dalam pemerintahan Abu Bakar. Mulai dari kasus pemurtadan, munculnya Nabi palsu, adanya kelompok yang tidak mau membayar zakat, hingga keinginan beberapa suku Arab untuk menyerang Madinah. Bahkan termasuk tantangan dari Romawi yang ingin menghabisi Madinah.

Lalu bagaimana strategi Abu Bakar sebagai Khalifah pertama mengembalikan kestabilan pemerintahan Madinah?

Bagaimana pula estafet kekhalifahan dari Abu Bakar kepada Umar bin Khaththab berhasil gemilang hingga Islam tersebar sampai ke Syam, Persia, dan Mesir?

Lebih jauh lagi, bagaimana materi ini dipaparkan dengan menghubungkan metode Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dalam menerapkan pola sunnatullah yang telah mereka dapatkan dari gurunya yaitu Rasul saw, dalam membangun umat?

Sehingga menjadi sangat wajar jika Sang guru berpesan pada kita, “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin” (HR. Tirmidzi)

Temukan jawabannya pada Madrasah Khilafah Rasyidah bersama Sirah Community Indonesia dengan pemateri Ustadz Asep Sobari, Lc.

Insya Allah Studium Generale akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 9 Februari 2019.

Informasi pendaftaran ke Nurina +62 813-2090-7000 (via WA).

Link pendaftaran: http://bit.ly/MKR2019

Kuota Terbatas hanya untuk 85 Peserta!

🍃 🍂 🍃 🍂 🍃 🍂 🍃 🍂 🍃
Tw & IG: @sirahcommunity
Fanpage: http://bit.ly/FPsirahcommunity
Telegram: https://t.me/sirahcomm
WhatsApp: https://bit.ly/WAsirahcommunity
Youtube:http://bit.ly/YouTubeSCI
Website: www.sirahcommunity.com

Filed Under: Madrasah Tagged With: islamic history, madrasah khilafah rasyidah, Madrasah Sirah Community, madrasah sirah nabawiyah, peradaban islam, rasulullah saw, sci, sirah communityFiled Under: Madrasah by Admin

PENDAFTARAN MADRASAH SIRAH NABAWIYAH 2019

January 4, 2019 Leave a Comment by Admin


Bismillah, kepada sahabat SCI yg sudah lama menunggu kabar kelas Sirah Nabawiyah Intensif, silakan segera mendaftar. Pendaftaran sudah dibuka dan terbatas hanya untuk 85 peserta. .
.

Yuk, belajar Sirah! .

MADRASAH SIRAH NABAWIYAH
Sirah Community Indonesia
Angkatan V
(Hanya untuk 85 Peserta)

📌 Paket:
Level I
Sejarah kehidupan Nabi periode Mekkah sebanyak 12 materi

Level II
Sejarah kehidupan Nabi periode Madinah sebanyak 14 materi

Pendaftaran:
1. Mengisi form http://bit.ly/MSN2019
2. Melakukan pembayaran senilai Rp. 2.500.033,- ke Bank Syariah Mandiri (BSM) a/n Nurina Utami No. Rekening 7084618707
3. Melakukan konfirmasi pembayaran ke http://bit.ly/MSN2019konfirmasi

⏰ Jadwal
Studium Generale tanggal 9 Februari 2019
Kelas intensif mulai tanggal 2 Maret 2019
Pukul 13.30-18.00 WIB

👳 Pengajar
Ustadz Asep Sobari, Lc
(Pendiri SCI, Alumnus Univ. Islam Madinah, Pengurus MIUMI, Peneliti INSISTS)

🏡 Tempat
Aula INSISTS
Jl. Kalibata Utara II No 84. Jakarta Selatan

🎓 Fasilitas
1. Fotocopy materi
2. Coffee break
3. Snack
4. Sertifikat

📝 Syarat Beasiswa:
1. Mengisi form http://bit.ly/MSN2019
2. Memiliki keahlian desain grafis atau berprofesi sebagai Guru Agama atau seorang mahasiswa
3. Membuat karya tulis yang dikumpulkan tanggal 2 Februari 2019
4. Bersedia mengabdi di SCI
5. Menandatangani surat perjanjian beasiswa

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Narahubung: Devina +62 857-1135-4336
Tw & IG: @sirahcommunity
Fanpage: http://bit.ly/FPsirahcommunity
Telegram: https://t.me/sirahcomm
WhatsApp: https://bit.ly/WAsirahcommunity
Youtube:http://bit.ly/YouTubeSCI
Website: www.sirahcommunity.com

Filed Under: Madrasah Tagged With: madrasah sirah nabawiyah, Muhammad, Nabi Muhammad Saw, peradaban islam, Prophet Muhammad, sci, sejarah islam, sirah community, sirah nabawiyahFiled Under: Madrasah by Admin

Berburu Buku di Kairo untuk Perpustakaan SCI

January 4, 2019 Leave a Comment by Admin

Sirah Community Indonesia, khususnya Ustadz Asep Sobari dan tim, Insya Allah akan melakukan perjalanan ke Mesir (Kairo) dan akan hadir di Cairo International Book Fair pada tanggal 25 Januari – 5 Februari 2019.

Perjalanan ini bertujuan untuk mencari buku-buku rujukan dalam bidang Sirah Nabawiyah dan Sejarah Peradaban Islam serta bidang ilmu terkait lainnya yang tidak tersedia di Indonesia.

Perjalanan tersebut membutuhkan dana hingga Rp. 191.000.000,-

Sedangkan dana yg sudah terkumpul per 4 Januari 2019 adalah Rp. 61.066.399,-

Demi tercapainya tujuan tersebut, kami mengajak sdr/i untuk berdonasi ke nomor rekening: 0461043223 BNI a.n Nurina Utami dan melakukan konfirmasi ke +62 813-2090-7000 setelah donasi dikirim.

Jazakumullah Khayran Katsiran

🍃 🍂 🍃 🍂 🍃 🍂 🍃 🍂 🍃 🍂

Tw & IG: @sirahcommunity
Fanpage: http://bit.ly/FPsirahcommunity
Telegram: https://t.me/sirahcomm
WhatsApp: https://bit.ly/WAsirahcommunity
Youtube:http://bit.ly/YouTubeSCI
Website: www.sirahcommunity.com

Filed Under: Acara Tagged With: 2019, Buku, Kairo, Mesir, peradaban, peradaban islam, Perpustakaan, sci, sirah nabawiyahFiled Under: Acara by Admin

Peran Rihlah dalam Membangun Peradaban Dunia

July 18, 2018 Leave a Comment by Admin

Rihlah, ternyata merupakan tradisi yang sangat penting dalam peradaban Islam. Jika kita bicara kebesaran peradaban Islam, maka salah satu penopangnya ialah rihlah. Rihlah bukanlah sekadar jalan-jalan seperti yang dipahami secara umum saat ini, namun lebih bermakna sebagai petualangan.

 

Sebagaimana rihlahnya Ibn Jubair saat terjadi Perang Salib di Syam, tentu ini bukanlah jalan-jalan. Begitu juga dengan rihlah Ibn Battuta sampai ke Srilanka lalu masuk ke perairan Selat Malaka yang mempertaruhkan fisiknya hingga nyaris mati, namun karena memiliki fisik yang kuat ia mampu bertahan. Jadi rihlah bukanlah jalan-jalan, tapi lebih tepat petualangan yang penuh tantangan.

 

Pemaparan ini menjadi pembuka Daurah Petualangan-Petualangan dalam Islam, Sirah Community Indonesia (SCI), Ahad, 27 Mei 2018 lalu oleh Ustadz Asep Sobari, Lc. Beliau juga menjelaskan bahwa dulu kaum muslimin sangat terobsesi dengan rihlah (petualangan) sampai kemudian rihlahnya didokumentasikan dan dicatat. Sebagai pengejewantahan dari misi besar peradaban Islam yang tercantum dalam firman-Nya, “Katakanlah, Jelajahlah bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan makhluk dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS al-`Ankabut: 20)

 

Tafsir ayat ini bukan hanya membicarakan proses penciptaan manusia. Qul siiruu fil ardh, “Katakanlah”, ini perintah Allah pada Nabi Muhammad Saw agar mengajarkan pada umatnya, “jelajahlah bumi ini!” Tujuannya untuk nadzhar; mencermati, meneliti, menjelajah, bukan sekadar cuci mata. Allah menekankan dari nadzhar ada proses lahir, bangkit, jatuhnya peradaban. Ayat ini merupakan perintah Allah untuk umat Islam menjelajahi bumi.

 

Banyak faktor yang memotivasi para petualang muslim melakukan penjelajahan, seperti ingin pergi haji, berdagang, tugas negara, dan lain-lain. Namun faktor utama tentu disebabkan karena ingin melakukan eksplorasi ilmu. Dan menariknya, mereka memiliki kebiasaan menuliskan hasil rihlahnya.

 

Pengurus MIUMI ini juga menyatakan bahwa yang diulas National Geographic, Tv Channel, dan lain-lain tentang seluk beluk suatu negara, masuk ke kampung-kampung, menyorot kebudayaan, dan masyarakat suatu daerah, sebenarnya kegiatan ini pertama kali dipelopori oleh para petualang muslim. Jauh sebelum barat mengemasnya dengan modern, di-shoot kamera, televisi, dan lain-lain.

 

Bedanya, saat petualang muslim berkelana, di masanya belum ada media sehingga hanya tertuang dalam buku. Artinya eksplorasi ilmiah awalnya adalah tradisi Islam. Kita tidak akan membayangkan di masa sekarang ada orang yang berjalan sampai ratusan ribu kilometer dan sambil berjalan ia mengamati, meneliti, dan itu merupakan bagian dari rihlah dalam Islam.

 

Pembina Madrasah Sirah Community Indonesia ini pun menuturkan nama petualang dan karya-karyanya. Seperti, Abu al-Qasim Ibn Khardazbah, di abad 3 H/9 M, memiliki karya yang berjudul al-Masalik wa al-Mamalik yang berisi tentang geografi dan kerajaan yang dikunjunginya. Karyanya mencatat masalah pemerintahan dan keuangan serta rute perjalanan yang ia lalui, sumber-sumber daya alam di negeri tersebut, dst. Artinya saat melakukan rihlah, sekaligus ia membuat penelitian.

 

Selain itu, ada Abu Ishaq al-Farisi di abad ke 4 H/10 M, judul karyanya al Masalik al-Mamalik. Dari hasil penjelajahannya ia membuat teori, bahwa wilayah Islam yang luas di masa Abbasiyyah bisa dibagi menjadi 20 bagian. Dengan pertimbangan membandingkan potensi di setiap daerah seperti hasil bumi, tambang, budaya masyarakatnya dst, dan titik pusatnya ia tentukan di Hijaz.

 

Petualang muslim lainnya yang memberi sumbangsih karya bagi peradaban dunia ialah Al-Idrisi di abad 6 H atau 13 M. Ia berpetualang sejak usia 16 tahun. Petualangannya ke beberapa negara sampai mengukur jarak antar kota, jarak sungai dan dari hasil catatannya dibuktikan di zaman modern ini hanya sedikit melesetnya. Ia juga membuat bola peta dunia yang bahannya terbuat dari perak atas permintaan Raja Roger II, saat ia ke Sisilia, Italia. Dan setelah diteliti melesetnya hanya sedikit dari peta sekarang.

Image via Google

Karya hasil petualangan Al Idrisi sangatlah banyak dan yang paling terkenal ialah ensklopedianya. Ia mulai membukukan catatan perjalanannya setelah selesai berkeliling hingga 20 tahun lamanya. Cara mendokumentasikan rihlahnya Al-Idrisi sama dengan Ibn Battuta. Ibn Battuta mencatat perjalanannya setelah 40 tahun berkeliling. Dan rekamannya hanya mengandalkan daya ingatnya. Menariknya ketika karya Al Idrisi diteliti secara ilmiah di zaman sekarang, tingkat akurasinya sangat tinggi.

 

Peneliti INSISTS ini juga menyebutkan pernyataan sejarawan muslim, Dr. Husein Mu’nis, saat orang barat meneliti dan membandingkan hasil karya petualang barat dan muslim, mereka mengkritik isi tulisan Marcopolo. Marcopolo memang lebih dulu menjelajah dan kurang lebih wilayah yang dijelajahi Marcopolo sama dengan Ibn Battuta. Namun, jika dibandingkan catatan perjalanan Marcopolo dengan Ibn Battuta, maka dapat diketahui bahwa meskipun Marcopolo mempunyai sekretaris, namun catatan penjelajahannya dari lokasi, kronologi peristiwa, dan lain-lain kurang akurat.

 

Berbeda dengan Ibn Battuta tingkat akurasi catatannya kuat, ia mencatat detil sekali. Misal, di daerah ini ada jenis tanaman apa saja, tanaman yang bisa menyembuhkan apa, ada jenis batu seperti apa, logam ditemukan di negara mana dan diantaranya masih ada yang misterius, artinya karya Ibn Battuta sampai sekarang masih diteliti orang barat.

 

Pembimbing Rihlah Peradaban umroh sekaligus Turki ini menekankan yang dilakukan petualang muslim itu bukan sekadar kepuasan pribadi untuk jalan-jalan, namun yang ditulis bermanfaat untuk banyak pihak, khususnya bagi pemerintahnya dalam mengelola negara. Jadi karya-karya mereka ini bukan bahan mentah tapi sudah sampai kesimpulan penting, bagaimana peradaban Islam seharusnya dibangun.

 

Karya para petualang muslim bukan hanya bermanfaat bagi muslim namun juga yang bukan muslim. Seperti yang disampaikan oleh Pembimbing Rihlah Peradaban Maroko-Spanyol ini, bahwa Vasco da Gama tanpa karya petualang muslim yakni Ibn Majid, ia tidak akan sampai ke Afrika. Begitu juga dengan Columbus tanpa buku petualang muslim sebelumnya, seperti karya Abu Ubayd al Bakri dan semisalnya, akan sangat sulit sampai ke Amerika.

 

Dan jika dicermati, karya mereka merupakan bagian dari pendekatan metodologi empirik yang tentu saja saat ini banyak diklaim bahwa baratlah yang memulainya, padahal kaum muslim telah melakukannya jauh lebih dulu sebelum barat. Hal itu bisa dibuktikan dari hasil karya para petualang muslim di atas.

 

Masih banyak lagi karya-karya para petualang muslim, jumlahnya sampai seratus dan belum termasuk karya yang tidak ditemukan karena jumlah petualang muslim dalam berbagai bidang sampai ratusan ribu. Dan karya-karya itu ada yang tertuang saat barat masih dalam masa kegelapan. Jadi umat Islam merupakan suplier ilmu dan barat hanya meneruskan saja. []

Filed Under: Acara, Kajian Filed Under: Acara, Kajian by Admin

Pandangan Pendidikan Umar bin Khaththab

January 19, 2018 Leave a Comment by Admin

Wilayah kekuasaan Islam di masa Umar bin Khaththab sangatlah luas. Wilayah yang dulunya dikuasai Persia yakni Kuffah, Bashrah, dll begitu jua Romawi yakni Syam, bahkan Mesir pun berada di bawah payung Islam. Otomatis permasalahan negara semakin rumit. Namun saat itu, selain khalifahnya adalah seorang mujtahid, para sahabat yang diamanahkan menjadi pejabat, levelnya pun mujtahid. Hal itulah yang memudahkan penyelesaian masalah sehingga tidak sampai terkatung-katung.

 

Dan langkah utama Umar bin Khaththab agar Islam cepat diterima ialah dengan melakukan pemerataan dan percepatan dalam pendidikan di wilayah yang ditaklukannya. Umar bin Khaththab mengutus para sahabat ke daerah bukan semata menjadi pejabat, tapi sebelum itu mereka menjadi guru bagi rakyatnya. Para sahabat tersebut membangun halaqah di tempatnya diutus. Dan yang diutus oleh Umar bukanlah orang biasa, mereka merupakan guru besar yang terbaik dalam keilmuwan, kematangan, kedewasaan, kecerdasan dan keteladannya. Muadz bin Jabal dan Abu Darda diutus ke Syam. Abu Musa al Asy’ari diutus ke Bashrah. Abdullah bin Amr bin Ash diutus ke Mesir. Sedang di Kufah diutus sekitar 300 sahabat senior yang ikut Hudaibiyyah ditambah 70 kategori sahabat Ahlu Badar. Bahkan Umar mengirim penasihat pribadinya, Abdullah bin Mas’ud untuk mengajar di sana.

 

Umar tak sekadar mengutus, namun juga memberikan pengarahan-pengarahan pada mereka. Pendidikan yang dibentuk di masa Umar  bukan sekedar memberi input materi untuk memenuhi aspek kognitif peserta didik, dari yang tidak tahu menjadi tahu, namun memiliki dimensi yang sangat luas. Konsep pendidikan dalam Islam sangatlah jelas dan Umar bin Khaththab sangat memahaminya.

Beranjak dari pemahaman bahwa inti ilmu itu ialah manfaatnya. Berdasarkan do’a Rasululullah Saw, Allahumma inni a’udzubika min ‘ilmin laa yanfa’, setelah ilmu mengeluarkan seseorang dari kejahilan, maka apakah buah dari ilmu? Wa min qalbin laa yakhsya’, inilah salah satu buah dari ilmu, ilmu harus membangun/mengokohkan adab dan hal ini digambarkan dengan hati yang tunduk. Kita berlindung pada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat. Jika ilmu tidak bermanfaat, maka hati tak akan lembut, tak melahirkan tawadhu’, otomatis jadi sombong. Wa min nafsin laa tasyba’, dan dari diri jiwa yang tidak pernah puas. Jika ilmu tidak bermanfaat, hati tidak lembut/tidak tawadhu, jiwa selalu liar maka doa tidak akan mustajab. Wa min da’watin laa yustajaabulaha. Ini rangkaian doa dalam masalah ilmu. Do’a bisa diijabah dan tidak diijabah tergantung ilmu kita. Bermula dari ilmu berdampak pada keberkahan hidup kita.

 

Dengan landasan itulah, Sang Khalifah Umar bin Khaththab memberi pesan pada rakyatnya terkait ilmu,

Seseorang ketika keluar dari rumahnya maka ia membawa beban dosa seberat gunung Tihamah (kawasan yang membentang dari Hijaz sampai Syam). Namun, saat dia menghadiri majelis ilmu dan terbangun rasa ketakutannya pada Allah, maka ketika dia kembali ke rumahnya dengan bertaubat, seketika dosanya menjadi berguguran. Maka janganlah pernah meninggalkan majelis ilmu. Seseorang itu tidak layak dikatakan berilmu sampai dia bisa membersihkan rasa hasad kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya. Sebaliknya dia juga tidak merendahkan dan menghina yang lebih rendah ilmunya. Dan tidak mengambil upah dari pekerjaannya mengajar.

 

Pesan yang sangat mendalam dari seorang penguasa wilayah bekas jajahan Romawi dan Persia pada rakyatnya ini ialah agar tetap semangat mendatangi majelis ilmu. Karena majelis ilmu pasti melahirkan orang yang beradab dan berakhlak. Dengan ilmu ia bisa mensterilkan hatinya agar bersih dari hasad. Seseorang tidak dianggap sukses menjadi ‘alim kecuali dia bisa mensterilkan jiwanya dari hasad terhadap yang lebih tinggi darinya. Karena dampak penyakit hasad ialah dirinya tidak berkembang dan ingin orang lain tidak lebih baik dari dia. Mana mungkin orang seperti ini disebut memiliki ilmu?. Kesibukannya hanya pada hal yang tidak penting. Maka fokuskan diri untuk berkembang dan berinovasi, agar ilmu semakin bertambah. Buah dari ilmu juga tidak menjadikannya merendahkan dan menghinakan orang yang belum tahu. Serta tidak mengambil upah dari mengajarnya. Maksudnya tidak boleh menetapkan upah, namun jika ia mendapatkan imbalan dari pengorbanan waktu dan tenaga yang digunakannya untuk orang banyak artinya ia berhak mendapatkan imbalan tersebut. Karena Umar bin Khaththab sendiripun menggaji para guru.

 

Pesan lainnya Sang Khalifah ialah belajar dan ajarilah ilmu pada manusia dan belajarlah ketenangan jiwa, karena orang yang berilmu tampak teduh dari luar (tawadhu’). Orang yg punya ilmu punya modal untuk sombong. Maka hilangkan aura sombong dari wajah dan hatimu, kau harus tenang dengan ilmu. Dan tawadhu’-lah kamu pada gurumu agar kau beradab padanya. Dan tawadhu’-lah pada muridmu yang kau ajari. Dan jangan jadi ulama sombong, (tidak menunjukan aura ilmu teduh, diwajahnya ada keangkuhan) karena yang menghancurkan Islam ialah tergelincirnya ulama dan perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al Qur’an serta para penguasa yang membuat kebijakan menggunakan kebodohan.

 

Umar bin Khaththab juga memberikan nasihat, “Kuasailah, pelajarilah, pahamilah agama sebelum engkau dielu-elukan sebagai tokoh.” Orang yang populer pasti sering diminta pendapatnya. Apapun itu, meski dia tak ahli di bidang itu, tapi seolah-olah popularitasnya sudah membuat ia dianggap ahli, pakar dll. Dan ketika ditanya, banyak orang berharap bahwa orang populer itu bisa menjawab segala pertanyaan yang disampaikan padanya. Dan akhirnya mendorong sikap dalam istilah “tergelincirnya ulama” hingga sampai tahap membebani dirinya di luar kemampuannya. Jika tak menjawab tak enak. Akhirnya terpeleset di publik. Ini tak sederhana.

 

Jangan jadikan popularitas sebagai tujuan. Penyakit terkenal ialah sedikit memiliki waktu memahami ilmu dan membuat tergelincir. Karena jika sudah terkenal ada rasa tinggi hati, gengsi duduk di majelis ilmu karena masih duduk bersama yang lain yang biasa-biasa saja. Sehingga pematerinya pun jadi sungkan untuk berbicara di hadapannya yang dianggap sudah berilmu hingga diminta menggantikan posisi pemateri, padahal dia yang ingin mendengar dari pemateri juga masih belum tahu. Karena ketika kau sudah ditokohkan membuatmu merasa tak layak “turut” duduk di majelis. Sehingga membuatmu jahil karena tidak ada kesempatan belajar lagi.

 

Dari pandangan dan kebijakan khalifah tentang ilmu inilah di kemudian hari lahir para cendikiawan, ulama besar lainnya selain dari Makkah dan Madinah. Di Kufah lahir Abu Hanifah, di Basrah lahir Hasan Al Bashri, di Syam lahir Al Auza’i, al Masruq dll. Dan bahkan Baghdad yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Persia dengan kepercayaan majusi, menjadi contoh terbaik bagi dunia dan umat Islam sebagai kota pendidikan dengan perpustakaan terbaik dan terbesar di masa keemasan Islam.

 

Zaili Fitria
(Catatan Inspirasi Madrasah Khulafaur Rasyidin oleh Ustadz Asep Sobari)

Filed Under: Uncategorized Filed Under: Uncategorized by Admin

Mengapa Andalus Runtuh?

January 9, 2018 Leave a Comment by Admin

 

Pertanyaan yang menggelayuti pikiran banyak orang. Terlebih mereka yang berkesempatan menjejakkan kaki di kota-kota saksi kebesaran Islam: Algeciras, Malaga, Cordoba, Granada, Sevilla, Valencia dst. Selama 800 tahun peradaban Islam gemilang di sana. Tapi sekarang musnah nyaris tak berbekas. Apa faktor yang menyebabkan Andalus runtuh?

Bagaimana sebuah peradaban kokoh yang melahirkan fenomena Mozarabes (al-musta’rabun) bisa sirna?

Mozarabes, mengutip kekesalan Alvaro de Cordoba, adalah mental kalah kaum Nasrani di masa kejayaan Islam di Andalus. Orang-orang Nasrani kala itu sangat menggandrungi semua yang berbau Arab atau tepatnya Islam. Mereka lebih menyukai bahasa, nama, hingga pakaian Arab. Mereka begitu bersemangat mempelajari literatur Islam bukan untuk mengkritik, tapi karena suka dan terpesona. Mereka bahkan ‘nyinyir’ dengan khazanah dan budaya Nasrani karena dianggap rendah dan terbelakang.

Demikianlah seperti yang dipaparkan Angel Gonzalez Palencia, Professor Bahasa Arab di Universitas Madrid dalam karyanya, Historia de la Literatura Arabigo-Espanola (versi terjemah: Tarikh al-Fikr al-Andalusi oleh Dr Husein Mu’nis).

Peradaban adalah fenomena multi dimensi yang tidak dapat ditentukan dari satu sudut tertentu. Jatuh bangun peradaban berjalan perlahan dalam kerangka sunnatullah yang berlaku pada wilayah al-afaq dan al-anfus.

Keruntuhan Andalus tidak bisa diputus, misalnya, dari pertikaian dua bersaudara Abu al-Hasan dan al-Zughl, ayah dan paman Abu Abdillah Muhammad ash-Shaghir yang menyerahkan Granada kepada penguasa Aragon dan Castilla. Bahkan tidak pula dimulai dari sekitar 250 tahun sebelumnya. Saat Granada menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang tersisa di Iberia.

Jika menggunakan qanun jatuh bangunnya peradaban yang disampaikan Malek Bennabi. Benih keruntuhan Andalus bisa ditarik lebih jauh, hampir 500 tahun sebelum Granada jatuh.

Dimulai dari kemunculan keluarga al-Manshur bin Abu ‘Amir di atas pentas politik Andalus setelah Khalifah al-Hakam al-Mustanshir mangkat. Secara perlahan namun pasti terjadi pergeseran orientasi dari yang disebut Bennabi ‘ad-dauran di falak al-afkar’ menjadi ‘ad-dauran di falak al-asykhash’. Ilmu dan pemikiran yang sebelumnya menjadi pusat rotasi kehidupan masyarakat bergeser kepada kepentingan pribadi tokoh-tokoh kuat.

Terlepas dari segala kelebihan pribadinya, Ibnu Abi Amir bertanggung jawab atas pergeseran tersebut. Dia memimpin dengan tangan besi, menyingkirkan semua yang berpotensi menyaingi, membangun kota az-Zahirah untuk menandingi keindahan az-Zahra, dst.

Alhasil, kurang dari 100 tahun kemudian az-Zahra dengan segala kebesarannya hancur. Kota nan indah itu dibakar dan porak poranda hingga tinggal reruntuhan puing-puing. Bukan karena serangan lawan, tapi karena syahwat kekuasaan dan fitnah antara sesama kawan.

Cordoba menjadi kacau, rusuh, hingga tidak lagi memiliki pemimpin potensial yang sanggup menjadi juru selamat. Rintihan pilu narasi dan bait-bait puisi Ibn Hazm dan Abu al-Baqa menjadi saksi. Akhirnya, seorang tokoh berdiri di Masjid Jami’ Cordoba, bukan untuk menyampaikan orasi yang membangkitkan harapan, tapi mengumumkan berakhirnya khilafah Islam di Andalus hingga, barangkali, akhir jaman.

Periode berikutnya semakin parah. Faktor lain keruntuhan Andalus semakin nyata, fenomena Thawa’if. Andalus yang sebelumnya bersatu di bawah satu payung Khilafah, kini pecah menjadi 21 daulah liliput tapi masing-masing merasa sebagai raksasa. Mereka tidak hanya saling sikut, saling serang, tapi lebih pedih dari itu, setiap kelompok tidak sungkan mengundang pasukan Katolik di Utara untuk menghabisi saudara.

Thawa’if adalah fitnah tragis yang mesti jadi pelajaran sepanjang masa. Thawa’if adalah kabar duka sebuah peradaban yang nyaris mencapai akhir ajalnya. Kalau bukan karena karunia Allah melalui ulama-ulama kala itu, barangkali Andalus sudah musnah lebih awal.

Para ulama atau tepatnya jaringan para ulama menjawab tantangan dahsyat tersebut. Di tengah perpecahan politik yang amat akut, para ulama Cordoba, Sevilla, Granada dll mengirim delegasi menyebrangi selat Gibraltar untuk menemui Yusuf bin Tasyafin, Sultan al-Murabithun di Marrakech yang kala itu menguasai sepertiga benua Afrika.

Para ulama yang berwibawa dan masih dipercaya umat tersebut meminta Ibn Tasyafin untuk menyelamatkan saudara-saudaranya di Andalus. Bukan hanya dari invasi kerajaan Katolik di Utara, terutama setelah Alfonso VIII menguasai Toledo tahun 1085, melainkan juga dari kekuasaan Thawa’if.

Yusuf bin Tasyafin menyebrang tiga kali ke Andalus. Al-Murabithun berkuasa penuh di sana setelah mengakhiri kekuasaan Thawa’if, termasuk al-Mu’tamid bin ‘Abbad, penguasa Sevilla. Meski sulit baginya untuk merebut kembali wilayah-wilayah Islam yang telah jatuh kepada penguasa Aragon dan Castilla.

Al-Murabithun mengembalikan nafas Islam ke dalam kehidupan masyarakat Andalus. Risalah Islam kembali dijunjung dan menjadi ruh pada semua lini. Kondisi inilah yang sebenarnya berperan menahan kejatuhan dini Andalus hingga 150 tahun kemudian, tepatnya setelah kekalahan telak al-Muwahhidun, penerus al-Murabithun, dalam perang al-‘Iqab di Las Navas de Tolosa pada bulan Juni tahun 1212.

Setelah al-Muwahhidun, tidak ada lagi kekuatan representatif umat yang sanggup mengemban risalahnya. Penyakit Thawa’if-isme kembali menjalar sehingga mereka menjadi sasaran yang jauh lebih empuk bagi musuh. Kelahiran Granada pun sebenarnya tidak lepas dari kisah sedih ini. Granada membayar upeti dan turut memberi andil atas kejatuhan Sevilla kepada Castilla pada tahun 1247.

Granada adalah fenomena nafas terakhir perjuangan umat untuk bertahan hidup di Andalus. Tidak ada keseimbangan yang berarti untuk mengokohkan diri apalagi membangun risalahnya. Kala itu umat masih menggantungkan asa selama hubungan baik terjalin antara Granada dengan Bani Marin di Maroko. Tapi setelah kongsi politik itupun putus, pupus sudah harapan semua.

Musuh yang selalu mengintai menuntaskan penderitaan umat dengan memutus semua jalur fisik yang menghubungkan Andalus dengan Maroko. Algeciras, pelabuhan terdekat dengan pantai Maroko mereka rebut. Malaga kemudian menyusul, sehingga tinggallah Granada berdiri sendirian ibarat anak yatim yang ditinggalkan semua orang. Sebuah kondisi memilukan yang 300 tahun sebelumnya telah disebut-sebut oleh Ya’qub al-Manshur, Sultan al-Muwahhidun, dalam wasiat terakhir menjelang ajal menjemputnya, “Aku berpesan kepada kalian agar menjaga baik-baik anak yatimku, yaitu Andalus.”

Wallahu a’lam

Catatan akhir Rihlah Maroko-Spanyol
Dari ketinggian semesta, 9 Januari 2018

Alfaqir Asep Sobari

Filed Under: Uncategorized Tagged With: algeciras, Andalus, andalusia, cordoba, granada, islam, islamic history, jejak peradaban islam, malaga, moslem, mozarabes, peradaban islam, runtuhnya andalus, sci, sejarah peradaban islam, sevilla, sirah nabawiyah, spanyol, valenciaFiled Under: Uncategorized by Admin

Jami’ Al-Qaraouiyine, Fes

January 3, 2018 Leave a Comment by Admin

Sepanjang sejarah kota tua Fes yang telah melewati 1250 tahun, hanya sedikit raja dan penguasa dari enam dinasti Maroko yang namanya dikenal sebesar dan seharum Fathimah binti Muhammad al-Fihri.

Wanita ‘biasa’ penduduk kawasan pemukiman imigran al-Qayrwan inilah pendiri masjid yang paling terkenal di Fes, yaitu Jami’ al-Qarawiyin. Sejarah pun kemudian mencatat seakan tiada Fes tanpa Jami’ al-Qarawiyin.

Fathimah al-Fihri mulai membangun, atau tepatnya mengembangkan Masjid ini pada bulan Ramadhan tahun 245 H / 856 M dengan menggunakan uang pribadinya. Setelah ditinggal ayah dan suami, Fathimah bertekad menghabiskan kekayaan yang ia warisi dari mereka untuk membuat sebuah karya besar yang mengabadikan kesalehannya.

Fathimah membeli lahan dan kebun di sekitar Masjid. Lalu, untuk menghindari syubhat sekecil apapun, ia meminta semua bahan bangunan diambil dari lahan yang dibelinya. Fathimah pun menguatkan tekadnya untuk terus berpuasa sejak pembangunan dimulai hingga selesai tahun 263 H, atau selama 18 tahun!

Perhatian Fathimah al-Fihri tidak hanya berhenti pada tahap pembangunan. Wanita mulia ini juga mewakafkan kebun dan pertokoan agar hasilnya digunakan untuk menunjang operasional Masjid al-Qarawiyin. Kebutuhan air, karpet, lampu, dan tentu saja pendidikan yang berjalan dipenuhi dari hasil wakaf tersebut.

Tujuan mulia, tekad baja, dan pengorbanan tanpa batas inilah yang nampaknya kelak kemudian menjadi “Sunnah” banyak orang, termasuk para penguasa Fes untuk terus merawat dan mengembangkan Masjid al-Qarawiyin. Ibn Khaldun, Sejarawan besar abad 8H, menyebut karya Fathimah al-Fihri ini menjadi inspirasi para penguasa: “Fa-ka-annama nabbahat ‘aza’im al-muluk ba’daha” (Dia seakan membangkitkan semangat para penguasa di masa berikutnya untuk meniru melahirkan karya-karya besar).

Fathimah al-Fihri wafat tahun 265 H, atau hanya dua tahun setelah karya agungnya selesai.

Dia mungkin tidak pernah menduga bahwa dari ketulusan dan kerendahan hatinya itu akan lahir sebuah universitas tertua dan diakui sebagai yang pertama di dunia.

Dia tidak pernah menduga kalau dari buah tangannya itu muncul pembawa lentera peradaban yang mencerahkan semesta.

Di Jami’ al-Qarawiyin, Ibn al-Banna belajar lalu mengajar sebagai sarjana dan matematikawan kelas dunia.

Di sanalah al-Faqih Abu ‘Imran menyampaikan pelajaran-pelajaran berharga yang menginspirasi kelahiran Dinasti Murabithin (Moravid) yang berjasa menyelamatkan Andalus dari keruntuhan dini pada abad 5H.

Di sana pula Ibn Khaldun (sejarawan), Ibn Bajjah (filosof), Ibn al-Arabi (Qadhi Sevilla), Ibn al-Khathib (sastrawan Granada), asy-Syarif al-Idrisi (pembuat peta/globe dunia), Ibn Zuhr (dokter kenamaan), Abu Madyan (sufi kolega pergerakan Abdul Qadir al-Jilani), dan….dan…mengajar, membina, meneliti, menulis, dan menorehkan karya besar mereka.

Fathimah al-Fihri bahkan tidak pernah menduga kalau di salah satu sudut masjidnya itu Ibn Ajurum menulis karya fenomenalnya, yaitu al-Jurumiyah yang mendunia dan dipelajari hingga sekarang oleh anak-anak negeriku di Nusantara.

Fathimah al-Fihri, Jami’ al-Qarawiyin, seperti kata Ibn Khaldun, adalah inspirasi bagi orang-orang besar dan berjiwa besar.

Siapa yang ingin mengabadikan ‘nama’ & amalnya, maka lihatlah mereka!

Wa bi mitsli ha’ula fal-ya’mal al-‘amilun!

Fes, 30 Desember 2017
Asep Sobari

Filed Under: Uncategorized Tagged With: alfihri, alqarawiyin, eropa, fathimah al fihri, fez. morocco, islam, islamic history, karya, maroko, masjid, moslem, mosque, rihlah peradaban, rihlah peradaban islam, sci, serjarah islam, sirah community, sirah nabawiyah, spanyolFiled Under: Uncategorized by Admin

Pendaftaran Madrasah Sirah Nabawiyah Angkatan ke-4

December 20, 2017 Leave a Comment by Admin

Filed Under: Madrasah Tagged With: asep sobari, history, islam, islamic history, madrasah sirah, madrasah sirah nabawiyah, msn, nabi saw, peradaban, peradaban islam, rasulullah saw, sci, sejarah islam, sirah nabawiyah, ustadz asep sobariFiled Under: Madrasah by Admin

Meneladani Peran Shahabiyah dalam Keluarga, Pendidikan, Ekonomi dan Politik

December 20, 2017 1 Comment by Admin

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…… Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu). (Al-Ahzab: 33-34)

Ayat ini ditegaskan untuk istri-istri Nabi Saw agar memprioritaskan rumah (keluar kecuali darurat). Namun menariknya di ayat 34-nya, Allah menyuruh mereka (udzkurna) mengingat/menyampaikan ayat-ayat Allah dan hikmah yang turun di rumahnya. Tentu untuk memahami ayat ini harus menyelaraskannya dengan praktik para shahabiyah. Karena sesuai garansi Rasulullah Saw, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelahku, dst.”

Pemaparan ayat ini menjadi pembuka Daurah Shahabiyah Sirah Community Indonesia (SCI), Ahad, 26 November 2017 lalu oleh Ustadz Asep Sobari, Lc. “Rumah menjadi basis akhlak, adab dan dalam waktu yang bersamaan menjadi basis pendidikan, bukan hanya untuk keluarga tapi juga bagi semua orang. Saat peralihan dari jahiliyah ke Islam, yang mengajarkan wanita tidaklah banyak, sehingga Rasulullah Saw sangat mendorong mereka (para shahabiyah) agar mencintai ilmu, dan kelak hasilnya luar biasa”, ujar pendiri SCI ini. Pengajar Madrasah Sirah Nabawiyah ini juga menjelaskan metode penyampaian materi dalam daurah ini bukan hanya penjabaran kisah, namun pendalaman analisa sehingga peserta mudah mengambil hikmah dari kisah.

Meski ada empat bidang yang diangkat, yakni peran shahabiyah dalam keluarga, pendidikan, ekonomi dan politik, namun cara penyampaian alumnus Universitas Islam Madinah ini tidak terkotak-kotak, karena bidang satu dan lainnya saling berkaitan. Selama materi berlangsung ayat pembuka tadi menjadi acuan praktik para shahabiyah agar peserta yang hadir memahami bahwa di rumah artinya bukan tidak berprestasi. Aisyah lebih banyak di rumah tapi dari rumahnya ia berhasil mengkader ulama-ulama besar, baik dari generasi sahabat maupun tabi’in bahkan ada juga ulama wanita.

Istri Rasul lainnya yang juga berprestasi dari rumah ialah Ummu Salamah yang membesarkan Hasan Al Bashri. Ibunya ialah pelayan Ummu Salamah sehingga sejak kecil Hasan Al Bashri yang lahir di rumahnya sering dibawa Ummu Salamah beraktivitas termasuk ke tempat Ummahatul Mukminin. Maka tak heran kelak Hasan Al Bashri menjadi ulama tabi’in terbaik.

Meskipun mereka lebih banyak di rumah, namun baik seluruh Ummahatul Mukminin maupun Shahabiyah dari Anshar dan Muhajirin, ikut serta berperan membangun peradaban Islam. Seperti, Ummu Waraqah Al Ansyariah yang diberi Rasulullah Saw lisensi untuk mengajar Al-Qur’an dan mengimami keluarganya, karena kemungkinan di rumahnya tidak ada laki-laki dewasa dan yang pandai membaca Al Qur’an. Shahabiyah lainnya, Asyifa dari Muhajirin juga mendapat lisensi dari Rasulullah Saw mengajarkan ilmu pengobatan. Namun, yang menariknya adalah ternyata pada praktiknya Ummahatul Mukminin dalam kondisi tertentu tetap keluar rumah. Di masa Umar bin Khaththab, Ummu Salamah ikut serta dalam mengembangkan proses pendidikan di Kuttab.

Zainab binti Jahsy bertransaksi di pasar. Ia-lah istri Nabi Saw yang panjang tangannya (paling dermawan). Cara sedekahnya berbeda dengan istri Nabi yang lain, karena uang yang ia sedekahkan hasil keringatnya sendiri. Dari keahliannya mengolah kulit menjadi produk, lalu ia jual sendiri di pasar dan hasilnya ia sedekahkan pada fakir miskin. Motivasinya melakukan itu bukan sekadar mencari uang tapi agar bisa sedekah lebih banyak.

Istri-istri Nabi sering tidak punya uang, bukan karena tidak ada. Umar bin Khaththab saat menjadi khalifah, memberi tunjangan pada istri-istri Nabi sekitar 1200 dinar (2.5 M) per orang tiap tahun. Lalu mereka sedekahkan semuanya hingga habis sebagai bentuk ibadah pada Allah, di sisi lain memberi manfaat pada masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya mereka.

Sebaik-baiknya harta ialah ketika berada di tangan orang sholeh. Kaya dan miskin adalah pilihan, dan praktiknya para sahabat yang kaya itu banyak. Menariknya, dalam konsep Islam, sahabat yang memilih hidup miskin tetap bisa memakmurkan bumi, beda dengan budaya kita sekarang. Kok bisa? Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin selama menjadi pemimpin negara memilih hidup miskin, bukan terpaksa miskin. Namun, apakah mereka memiskinkan rakyatnya? Tidak, mereka miskin untuk dirinya, tapi tetap menyejahterakan rakyatnya. Dalam riwayat Imam Ahmad, hasil wakaf Ali bin Abi Thalib mencapai 4000 Dinar (8M). Namun dalam waktu bersamaan, Ali sedang mengganjal perutnya dengan batu. Mengapa mereka seperti itu? Karena mereka paham salah satu tujuan diciptakan manusia ialah berperan aktif memakmurkan bumi dengan fasilitas ekonomi.

Istri Rasulullah Saw lainnya yang juga harus keluar dari rumahnya dalam kondisi tertentu ialah Aisyah. Sejak masa Abu Bakar, Aisyah telah menjadi konsultan para Khulafaur Rasyidin. Sehingga wajar Aisyah ikut berperan dalam menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman di masa pemerintahan Ali yang membuatnya harus keluar dari kota Madinah.

Wanita memang tidak diwajibkan berjihad. Akan tetapi hal itu tak membuat mereka jadi acuh. Meski setelah turun keterangan bahwa wanita tidak wajib berjihad, para shahabiyah tidak diam, mereka protes pada Rasulullah Saw yang diwakilkan Asma binti Yazid agar tetap bisa berjihad. Dan jawaban Rasulullah Saw menyatakan bahwa jika seorang istri dan ibu menjalankan perannya di rumah dengan optimal maka pahalanya seperti pahala berjihad di jalan Allah.

Menariknya, meski sudah mendapatkan keringanan itu, para Shahabiyah tetap terlibat dalam medan jihad. Banyak wanita yang turun di medan jihad dari masa Rasulullah Saw sampai Khulafaur Rasyidin. Mengurusi logistik, pengobatan, bahkan ketika keadaan mendesak sampai ikut bertempur. Asma binti Yazid bahkan ikut berperang di Qadisiyah karena perang sangat dahsyat, sampai ikut melawan musuh dan membunuh sembilan tentara Romawi di Qadisiyah.

Setelah memaparkan bagaimana praktik para Shahabiyah dalam mengaplikasikan surat Al Ahzab ayat 33-34, pengurus MIUMI ini menyatakan bahwa tidak tepat jika wanita mutlak harus di dalam rumah dan tidak boleh berada di ruang publik. Dalam kehidupan ini ada bidang-bidang yang tidak mungkin kosong dari peran wanita. Seperti saat masuk ke tempat umum, ada toilet wanita dan laki-laki, nah yang membersihkan toilet wanita siapa? Begitu juga dengan pasar, perempuan punya hajat untuk membeli kebutuhan pribadi mereka. Termasuk bidang kesehatan, apakah tidak perlu dokter kandungan perempuan? Sehingga dalam hal ini, kehadiran wanita di ruang publik pada batasan tertentu tetap dibutuhkan dan wanita tidak sepenuhnya mutlak harus di rumah.

Daurah Shahabiyah ini menjadi pembuka rangkaian Daurah SCI berikutnya, yakni Daurah Pendidikan, dan Daurah Ekonomi yang tentu pembahasannya berlatar Sirah Nabawiyah dan Sejarah Islam.

Zaili Fitria
Pegiat Sirah Community Indonesia

 

Filed Under: Acara, Kajian Tagged With: Daurah Ekonomi, daurah pendidikan, daurah sahabiyah, peran dalam keluarga, peran ekonomi, peran pendidikan, peran politik, peran sahabiyah, rasulullah saw, sahabat nabi, sahabiyah nabi, sci, sirah community indonesia, sirah nabawiyah, sirah nabiFiled Under: Acara, Kajian by Admin

  • 1
  • 2
  • Next Page »

Cari…

Like Page Kami

Like Page Kami

Terbaru….

  • Membaca Akar Persoalan Peradaban
  • PENDAFTARAN MADRASAH KHILAFAH RASYIDAH 2019
  • PENDAFTARAN MADRASAH SIRAH NABAWIYAH 2019
  • Berburu Buku di Kairo untuk Perpustakaan SCI
  • Peran Rihlah dalam Membangun Peradaban Dunia
  • Pandangan Pendidikan Umar bin Khaththab
  • Mengapa Andalus Runtuh?
  • Jami’ Al-Qaraouiyine, Fes
Copyright © 2016 · sirahcommunity.com