Wilayah kekuasaan Islam di masa Umar bin Khaththab sangatlah luas. Wilayah yang dulunya dikuasai Persia yakni Kuffah, Bashrah, dll begitu jua Romawi yakni Syam, bahkan Mesir pun berada di bawah payung Islam. Otomatis permasalahan negara semakin rumit. Namun saat itu, selain khalifahnya adalah seorang mujtahid, para sahabat yang diamanahkan menjadi pejabat, levelnya pun mujtahid. Hal itulah yang memudahkan penyelesaian masalah sehingga tidak sampai terkatung-katung.
Dan langkah utama Umar bin Khaththab agar Islam cepat diterima ialah dengan melakukan pemerataan dan percepatan dalam pendidikan di wilayah yang ditaklukannya. Umar bin Khaththab mengutus para sahabat ke daerah bukan semata menjadi pejabat, tapi sebelum itu mereka menjadi guru bagi rakyatnya. Para sahabat tersebut membangun halaqah di tempatnya diutus. Dan yang diutus oleh Umar bukanlah orang biasa, mereka merupakan guru besar yang terbaik dalam keilmuwan, kematangan, kedewasaan, kecerdasan dan keteladannya. Muadz bin Jabal dan Abu Darda diutus ke Syam. Abu Musa al Asy’ari diutus ke Bashrah. Abdullah bin Amr bin Ash diutus ke Mesir. Sedang di Kufah diutus sekitar 300 sahabat senior yang ikut Hudaibiyyah ditambah 70 kategori sahabat Ahlu Badar. Bahkan Umar mengirim penasihat pribadinya, Abdullah bin Mas’ud untuk mengajar di sana.
Umar tak sekadar mengutus, namun juga memberikan pengarahan-pengarahan pada mereka. Pendidikan yang dibentuk di masa Umar bukan sekedar memberi input materi untuk memenuhi aspek kognitif peserta didik, dari yang tidak tahu menjadi tahu, namun memiliki dimensi yang sangat luas. Konsep pendidikan dalam Islam sangatlah jelas dan Umar bin Khaththab sangat memahaminya.
Beranjak dari pemahaman bahwa inti ilmu itu ialah manfaatnya. Berdasarkan do’a Rasululullah Saw, Allahumma inni a’udzubika min ‘ilmin laa yanfa’, setelah ilmu mengeluarkan seseorang dari kejahilan, maka apakah buah dari ilmu? Wa min qalbin laa yakhsya’, inilah salah satu buah dari ilmu, ilmu harus membangun/mengokohkan adab dan hal ini digambarkan dengan hati yang tunduk. Kita berlindung pada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat. Jika ilmu tidak bermanfaat, maka hati tak akan lembut, tak melahirkan tawadhu’, otomatis jadi sombong. Wa min nafsin laa tasyba’, dan dari diri jiwa yang tidak pernah puas. Jika ilmu tidak bermanfaat, hati tidak lembut/tidak tawadhu, jiwa selalu liar maka doa tidak akan mustajab. Wa min da’watin laa yustajaabulaha. Ini rangkaian doa dalam masalah ilmu. Do’a bisa diijabah dan tidak diijabah tergantung ilmu kita. Bermula dari ilmu berdampak pada keberkahan hidup kita.
Dengan landasan itulah, Sang Khalifah Umar bin Khaththab memberi pesan pada rakyatnya terkait ilmu,
Seseorang ketika keluar dari rumahnya maka ia membawa beban dosa seberat gunung Tihamah (kawasan yang membentang dari Hijaz sampai Syam). Namun, saat dia menghadiri majelis ilmu dan terbangun rasa ketakutannya pada Allah, maka ketika dia kembali ke rumahnya dengan bertaubat, seketika dosanya menjadi berguguran. Maka janganlah pernah meninggalkan majelis ilmu. Seseorang itu tidak layak dikatakan berilmu sampai dia bisa membersihkan rasa hasad kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya. Sebaliknya dia juga tidak merendahkan dan menghina yang lebih rendah ilmunya. Dan tidak mengambil upah dari pekerjaannya mengajar.
Pesan yang sangat mendalam dari seorang penguasa wilayah bekas jajahan Romawi dan Persia pada rakyatnya ini ialah agar tetap semangat mendatangi majelis ilmu. Karena majelis ilmu pasti melahirkan orang yang beradab dan berakhlak. Dengan ilmu ia bisa mensterilkan hatinya agar bersih dari hasad. Seseorang tidak dianggap sukses menjadi ‘alim kecuali dia bisa mensterilkan jiwanya dari hasad terhadap yang lebih tinggi darinya. Karena dampak penyakit hasad ialah dirinya tidak berkembang dan ingin orang lain tidak lebih baik dari dia. Mana mungkin orang seperti ini disebut memiliki ilmu?. Kesibukannya hanya pada hal yang tidak penting. Maka fokuskan diri untuk berkembang dan berinovasi, agar ilmu semakin bertambah. Buah dari ilmu juga tidak menjadikannya merendahkan dan menghinakan orang yang belum tahu. Serta tidak mengambil upah dari mengajarnya. Maksudnya tidak boleh menetapkan upah, namun jika ia mendapatkan imbalan dari pengorbanan waktu dan tenaga yang digunakannya untuk orang banyak artinya ia berhak mendapatkan imbalan tersebut. Karena Umar bin Khaththab sendiripun menggaji para guru.
Pesan lainnya Sang Khalifah ialah belajar dan ajarilah ilmu pada manusia dan belajarlah ketenangan jiwa, karena orang yang berilmu tampak teduh dari luar (tawadhu’). Orang yg punya ilmu punya modal untuk sombong. Maka hilangkan aura sombong dari wajah dan hatimu, kau harus tenang dengan ilmu. Dan tawadhu’-lah kamu pada gurumu agar kau beradab padanya. Dan tawadhu’-lah pada muridmu yang kau ajari. Dan jangan jadi ulama sombong, (tidak menunjukan aura ilmu teduh, diwajahnya ada keangkuhan) karena yang menghancurkan Islam ialah tergelincirnya ulama dan perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al Qur’an serta para penguasa yang membuat kebijakan menggunakan kebodohan.
Umar bin Khaththab juga memberikan nasihat, “Kuasailah, pelajarilah, pahamilah agama sebelum engkau dielu-elukan sebagai tokoh.” Orang yang populer pasti sering diminta pendapatnya. Apapun itu, meski dia tak ahli di bidang itu, tapi seolah-olah popularitasnya sudah membuat ia dianggap ahli, pakar dll. Dan ketika ditanya, banyak orang berharap bahwa orang populer itu bisa menjawab segala pertanyaan yang disampaikan padanya. Dan akhirnya mendorong sikap dalam istilah “tergelincirnya ulama” hingga sampai tahap membebani dirinya di luar kemampuannya. Jika tak menjawab tak enak. Akhirnya terpeleset di publik. Ini tak sederhana.
Jangan jadikan popularitas sebagai tujuan. Penyakit terkenal ialah sedikit memiliki waktu memahami ilmu dan membuat tergelincir. Karena jika sudah terkenal ada rasa tinggi hati, gengsi duduk di majelis ilmu karena masih duduk bersama yang lain yang biasa-biasa saja. Sehingga pematerinya pun jadi sungkan untuk berbicara di hadapannya yang dianggap sudah berilmu hingga diminta menggantikan posisi pemateri, padahal dia yang ingin mendengar dari pemateri juga masih belum tahu. Karena ketika kau sudah ditokohkan membuatmu merasa tak layak “turut” duduk di majelis. Sehingga membuatmu jahil karena tidak ada kesempatan belajar lagi.
Dari pandangan dan kebijakan khalifah tentang ilmu inilah di kemudian hari lahir para cendikiawan, ulama besar lainnya selain dari Makkah dan Madinah. Di Kufah lahir Abu Hanifah, di Basrah lahir Hasan Al Bashri, di Syam lahir Al Auza’i, al Masruq dll. Dan bahkan Baghdad yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Persia dengan kepercayaan majusi, menjadi contoh terbaik bagi dunia dan umat Islam sebagai kota pendidikan dengan perpustakaan terbaik dan terbesar di masa keemasan Islam.
Zaili Fitria
(Catatan Inspirasi Madrasah Khulafaur Rasyidin oleh Ustadz Asep Sobari)
Tinggalkan Pesan...